Kunjungan
kali pertama ke Jayapura selain menyisakan rangkaian foto yang diam tak
bergeming juga ada kesan tersendiri dari kunjungan seumur hidupku. Dengan
pemberangkatan dari OKU Timur tanpa diduga dengan segala keterbatasan dan
kesederhanaan akhirnya bisa sampai didaerah paling timur negeri ini, bumi
cendrawasih tanah papua. Diawal tulisan ini saya mengucapkan ribuan terimakasih
yang pertama kepada Ketua Umum PB KOPRI PMII (mbak Irma Mutoharoh/putri terbaik
sumatera selatan) karena telah menjadi gerbang awal pemberangkatan kami berdua
(heri amanudin dan heni iswanti) ceritanya adalah dipagi hari Pukul 10.00 WIB
ketika saya mengikuti rapat bersama Syuriah Dan Tanfidziyah Nahdlatul Ulama OKU
Timur dikediaman Ustadz Romdhon Sumber Harjo, kemudian sahabat Heni Iswanti (Ketua
KOPRI OKU Timur) menghubungiku kalau ada tiket pemberangkatan yang bisa
digunakan untuk kami berdua berangkat kepapua. Kemudian ucapan terimakasih
selanjutnya kepada beliau bunda H.NILAWATI (Anggota DPRD Provinsi Sumatera Selatan)
dan Ayahanda Affiful Ikhwan (Ketua Tanfidziyah NU OKU Timur) yang mensuport
dalam hal mental dan material sehingga kami dapat berangkat sampai Jakarta. Ada
beberapa kalimat yang aku ingat dan tetap aku jadikan pedoman dalam hidupku
sampai saat ini. Ucapan selanjutnya
kepada sahabat Nurul Huda yang telah meminjamkan pakaiannya kepadaku,(soalnya
saya hanya bawa baju satu stel saja, yang saya pakai hari itu dari pagi sampai
malam hari, maka sekitar 4 stel pakaianya saya bawa)
Dipagi
harinya Akhirnya kami berdua lets goo kejayapura... (emmm ada cerita tak
mengenakkan sebenarnya ketika sahabat heni iswanti masih tertinggal di OKU
Timur karena terancam gak jadi meluncur,akhirnya karena berkat Allah SWT
melalui perantara mbak irma muthoharoh kami dapat terbang mewakili PMII
Provinsi Sumatera Selatan...
Foto-foto
ini Meski tidak seluruhnya, sedikit banyak saya ingin menggambarkan deretan
foto-foto diam ini menjadi sebuah tulisan yang mungkin akan memberikan gambaran
bagi semua pembaca yang ingin tahu lebih banyak tentang perbatasan RI - Papua
New Guinea (PNG).
Kunjungan
ke Papua, tak lengkap rasanya bila tidak mengunjungi tempat yang satu ini.
Ya....perbatasan RI - PNG ternyata menyimpan sebuah eksotik tentang keindahan
alam senyatanya. Walau sebenarnya tak mudah untuk datang kesana. Perlu sebuah
prosedur, kelengkapan diri, perijinan dan situasi keamanan. Bila sedang terjadi
pertikaian antar suku, maka wilayah perbatasan itu akan ditutup. Namun saya
tetap bersyukur, karena saya adalah salah satu peserta MUSPIMNAS PMII (Musyawarah
Pimpinan Nasional Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), setidaknya membuat
saya dan sahabat-sahabat PMII Se-nusantara mendapatkan kemudahan untuk
berkunjung ke perbatasan ini.
Perbatasan
RI - PNG adalah sebuah batas yang memisahkan Indonesia dan Papua New Guinea.
Namun demikian tempat ini menjadi tempat yang unik untuk berwisata karena
keindahan panorama alamnya. Letaknya bila dari Indonesia berada di desa Skouw,
Distrik Muara Tami, Jayapura. Sementara, bila dari PNG terletak di Dusun Wutun,
Propinsi Sandaun, Papua New Guinea.
Untuk
sampai di daerah ini, diperlukan waktu kurang lebih 2 jam dari Jayapura. Dan
harus melewati beberapa perkampungan yang mempunyai ciri khas tersendiri. Yakni
dari Abepura, Waena, melewati Tanah Hitam atau yang lebih dikenal dengan
Kampung Yotefa, yaitu perkampungan yang didominasi oleh masyarakat Ujung
Pandang. Setelah itu melewati Kampung Nafri. Kampung Nafri ini kata sahabat
saya dari jayapura adalah daerah merah karena sebagian penduduknya adalah
pendukung OPM.
Selanjutnya
perjalanan akan melewati perkampungan Enrekang yang penduduknya sebagian besar
hidup bercocok tanam. Perkampungan ini lebih dikenal dengan Koya Koso. Setelah
itu baru memasuki perkampungan suku Wamena yang ditandai dengan rumah honei di
kiri kanan jalan.
Berlanjut
kemudian adalah Abe Pantai, yaitu sebuah perkampungan yang didominasi oleh
masyarakat asal Buton/Sulawesi. Dan selanjutnya memasuki Koya Barat, sebuah
perkampungan yang mayoritas penduduknya berasal dari Jawa. Ada pemandangan yang
menarik disini. Banyak penjual jagung rebus, kacang rebus dan makanan ringan
lainnya yang berada di tepi kiri dan kanan jalan.
Setelah
melewati Koya Barat, sampailah di Koya Timur. Disini terdapat kolam pemancingan
yang menjadi tempat persinggahan para wisatawan untuk sekedar memancing atau
mencari lalapan ikan, menu khas Jawa yang spesial.
Jalanan
menuju perbatasan RI - PNG sangat mulus. Meski berkelok-kelok namun aspalnya
sangat bagus, hingga memudahkan kita sampai ditempat tujuan dengan cepat. Tak
ada kendaraan khusus untuk menuju perbatasan. Bila kita ingin kesana harus
menggunakan mobil pribadi, ojek atau mobil rental. Dalam perjalanan ini mata
kita akan dimanjakan pemandangan disekeliling kiri dan kanan jalan yang
ditumbuhi hutan yang membuat kita tak merasakan hawa panas.
Setelah
melewati hutan yang lumayan panjang, maka sampailah kita sebuah jalan yang di
samping kiri kanannya terdapat bendera merah putih. Jalan itu menunjukkan bahwa
kita telah mendekati pos penjagaan TNI yang letaknya disebelah kiri dan
kendaraan roda empat wajib buka jendela. Untuk wisatawan umum diharuskan
meninggalkan KTP disitu. Karena kami bersama anggota POLRI, akhirnya seorang
dari mereka mengawal kami hingga ke dalam.
Begitu
mendekati perbatasan, terdapat pos Kepolisian RI, yang merupakan kantor
imigrasi RI. Sampai disitu jalan ditutup dengan portal. Wisatawan wajib lapor
disitu. Karena kami mendapat pengawalan dari petugas postas, akhirnya portal
itupun dibuka.
Sebuah
ketentuan yang berlaku bagi semua wisatawan tanpa terkecuali, jalan yang
diijinkan untuk dikunjungi jaraknya hanya kurang lebih 300 meter dari pos itu.
Dan perbatasan antara RI - PNG ditandai dengan sebuah pagar berwarna kuning
pada kedua wilayah. Namun tanda dari kedua wilayah itu memberikan keunikan
tersendiri. Wilayah Indonesia ditandai dengan tugu berbentuk tifa, sedang
wilayah PNG ditandai dengan gapura berbentuk totem yang bertuliskan
"Welcome To Papua New Guinea.
Sementara
itu, diantara masing-masing wilayah perbatasan, ada sebuah garis demarkasi
sepanjang 30 meter, yaitu garis internasional yang merupakan tempat netral dan
memisahkan dua negara. Jadi untuk melalui garis ini tidak diperlukan paspor
alias bebas. Disinilah sering digunakan lalu lalang penduduk PNG untuk
berbelanja ke Jayapura, bahkan ditempat itu pulalah penduduk Papua New Guinea
yang mempunyai kerabat dari Jayapura sering bertemu. Sedangkan paspor digunakan
untuk memasuki pos ke-2 yang letaknya kurang lebih 1 km dari batas itu. Masuk
ke area ini kita tidak boleh membawa kamera.
Banyak
pemandangan indah yang dapat kita nikmati setelah memasuki pagar pembatas itu.
Ada deretan kios milik penduduk Papua New Guinea yang menjual asesoris, seperti
kaos, topi, mug, shal, payung, kain pantai, makanan kaleng dan sebagainya. Dan
untuk berbelanja di kios itu, kita dapat menggunakan mata uang Rupiah. Namun
demikian kita tidak dapat menawarnya, karena mereka tidak mengerti mata uang
Rupiah.
Harga
yang mereka tawarkan selalu bulat, seperti Rp. 25.000,- Rp. 50.000,- dan
sebagainya. Namun demikian tak banyak perbedaan antara postur tubuh orang Papua
New Guinea dan orang Papua Indonesia. Yang membedakan mereka adalah bahasanya.
Bahasa sehari-hari mereka adalah bahasa Inggris logat Fiji campuran bahasa
Indonesia. Sedangkan mata uang yang mereka gunakan adalah Kina. 1 kina setara
dengan Rp. 3.000,-
Selain
dapat membeli beberapa asesoris di kios-kios itu, kita dapat juga menikmati
keindahan pulau Putung dari kejauhan. Sayangnya tak mudah mengambil gambar di
tempat itu. Kadang kitapun harus mencuri kesempatan untuk mengabadikan foto
pribadi, karena ada penjual jasa foto di tempat itu. Sekali jepret mereka minta
imbalan Rp. 50.000,- dan tidak bisa ditawar.
Yah....inilah
sekelumit perjalanan yang tak mungkin aku lupakan dalam sejarah hidupku.
I LOVE
YOU PMII.....
1 komentar:
NKRI HARGA MATI
Posting Komentar