Rabu, 29 Oktober 2014

Cerita tapal batas Indonesia - Papua Nugini

Kunjungan kali pertama ke Jayapura selain menyisakan rangkaian foto yang diam tak bergeming juga ada kesan tersendiri dari kunjungan seumur hidupku. Dengan pemberangkatan dari OKU Timur tanpa diduga dengan segala keterbatasan dan kesederhanaan akhirnya bisa sampai didaerah paling timur negeri ini, bumi cendrawasih tanah papua. Diawal tulisan ini saya mengucapkan ribuan terimakasih yang pertama kepada Ketua Umum PB KOPRI PMII (mbak Irma Mutoharoh/putri terbaik sumatera selatan) karena telah menjadi gerbang awal pemberangkatan kami berdua (heri amanudin dan heni iswanti) ceritanya adalah dipagi hari Pukul 10.00 WIB ketika saya mengikuti rapat bersama Syuriah Dan Tanfidziyah Nahdlatul Ulama OKU Timur dikediaman Ustadz Romdhon Sumber Harjo, kemudian sahabat Heni Iswanti (Ketua KOPRI OKU Timur) menghubungiku kalau ada tiket pemberangkatan yang bisa digunakan untuk kami berdua berangkat kepapua. Kemudian ucapan terimakasih selanjutnya kepada beliau bunda H.NILAWATI (Anggota DPRD Provinsi Sumatera Selatan) dan Ayahanda Affiful Ikhwan (Ketua Tanfidziyah NU OKU Timur) yang mensuport dalam hal mental dan material sehingga kami dapat berangkat sampai Jakarta. Ada beberapa kalimat yang aku ingat dan tetap aku jadikan pedoman dalam hidupku sampai saat ini.  Ucapan selanjutnya kepada sahabat Nurul Huda yang telah meminjamkan pakaiannya kepadaku,(soalnya saya hanya bawa baju satu stel saja, yang saya pakai hari itu dari pagi sampai malam hari, maka sekitar 4 stel pakaianya saya bawa)  

Dipagi harinya Akhirnya kami berdua lets goo kejayapura... (emmm ada cerita tak mengenakkan sebenarnya ketika sahabat heni iswanti masih tertinggal di OKU Timur karena terancam gak jadi meluncur,akhirnya karena berkat Allah SWT melalui perantara mbak irma muthoharoh kami dapat terbang mewakili PMII Provinsi Sumatera Selatan...
Foto-foto ini Meski tidak seluruhnya, sedikit banyak saya ingin menggambarkan deretan foto-foto diam ini menjadi sebuah tulisan yang mungkin akan memberikan gambaran bagi semua pembaca yang ingin tahu lebih banyak tentang perbatasan RI - Papua New Guinea (PNG).
Kunjungan ke Papua, tak lengkap rasanya bila tidak mengunjungi tempat yang satu ini. Ya....perbatasan RI - PNG ternyata menyimpan sebuah eksotik tentang keindahan alam senyatanya. Walau sebenarnya tak mudah untuk datang kesana. Perlu sebuah prosedur, kelengkapan diri, perijinan dan situasi keamanan. Bila sedang terjadi pertikaian antar suku, maka wilayah perbatasan itu akan ditutup. Namun saya tetap bersyukur, karena saya adalah salah satu peserta MUSPIMNAS PMII (Musyawarah Pimpinan Nasional Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), setidaknya membuat saya dan sahabat-sahabat PMII Se-nusantara mendapatkan kemudahan untuk berkunjung ke perbatasan ini.
Perbatasan RI - PNG adalah sebuah batas yang memisahkan Indonesia dan Papua New Guinea. Namun demikian tempat ini menjadi tempat yang unik untuk berwisata karena keindahan panorama alamnya. Letaknya bila dari Indonesia berada di desa Skouw, Distrik Muara Tami, Jayapura. Sementara, bila dari PNG terletak di Dusun Wutun, Propinsi Sandaun, Papua New Guinea.

Untuk sampai di daerah ini, diperlukan waktu kurang lebih 2 jam dari Jayapura. Dan harus melewati beberapa perkampungan yang mempunyai ciri khas tersendiri. Yakni dari Abepura, Waena, melewati Tanah Hitam atau yang lebih dikenal dengan Kampung Yotefa, yaitu perkampungan yang didominasi oleh masyarakat Ujung Pandang. Setelah itu melewati Kampung Nafri. Kampung Nafri ini kata sahabat saya dari jayapura adalah daerah merah karena sebagian penduduknya adalah pendukung OPM.


Selanjutnya perjalanan akan melewati perkampungan Enrekang yang penduduknya sebagian besar hidup bercocok tanam. Perkampungan ini lebih dikenal dengan Koya Koso. Setelah itu baru memasuki perkampungan suku Wamena yang ditandai dengan rumah honei di kiri kanan jalan.

Berlanjut kemudian adalah Abe Pantai, yaitu sebuah perkampungan yang didominasi oleh masyarakat asal Buton/Sulawesi. Dan selanjutnya memasuki Koya Barat, sebuah perkampungan yang mayoritas penduduknya berasal dari Jawa. Ada pemandangan yang menarik disini. Banyak penjual jagung rebus, kacang rebus dan makanan ringan lainnya yang berada di tepi kiri dan kanan jalan.

Setelah melewati Koya Barat, sampailah di Koya Timur. Disini terdapat kolam pemancingan yang menjadi tempat persinggahan para wisatawan untuk sekedar memancing atau mencari lalapan ikan, menu khas Jawa yang spesial.


Jalanan menuju perbatasan RI - PNG sangat mulus. Meski berkelok-kelok namun aspalnya sangat bagus, hingga memudahkan kita sampai ditempat tujuan dengan cepat. Tak ada kendaraan khusus untuk menuju perbatasan. Bila kita ingin kesana harus menggunakan mobil pribadi, ojek atau mobil rental. Dalam perjalanan ini mata kita akan dimanjakan pemandangan disekeliling kiri dan kanan jalan yang ditumbuhi hutan yang membuat kita tak merasakan hawa panas.

Setelah melewati hutan yang lumayan panjang, maka sampailah kita sebuah jalan yang di samping kiri kanannya terdapat bendera merah putih. Jalan itu menunjukkan bahwa kita telah mendekati pos penjagaan TNI yang letaknya disebelah kiri dan kendaraan roda empat wajib buka jendela. Untuk wisatawan umum diharuskan meninggalkan KTP disitu. Karena kami bersama anggota POLRI, akhirnya seorang dari mereka mengawal kami hingga ke dalam.

Begitu mendekati perbatasan, terdapat pos Kepolisian RI, yang merupakan kantor imigrasi RI. Sampai disitu jalan ditutup dengan portal. Wisatawan wajib lapor disitu. Karena kami mendapat pengawalan dari petugas postas, akhirnya portal itupun dibuka.

Sebuah ketentuan yang berlaku bagi semua wisatawan tanpa terkecuali, jalan yang diijinkan untuk dikunjungi jaraknya hanya kurang lebih 300 meter dari pos itu. Dan perbatasan antara RI - PNG ditandai dengan sebuah pagar berwarna kuning pada kedua wilayah. Namun tanda dari kedua wilayah itu memberikan keunikan tersendiri. Wilayah Indonesia ditandai dengan tugu berbentuk tifa, sedang wilayah PNG ditandai dengan gapura berbentuk totem yang bertuliskan "Welcome To Papua New Guinea.



Sementara itu, diantara masing-masing wilayah perbatasan, ada sebuah garis demarkasi sepanjang 30 meter, yaitu garis internasional yang merupakan tempat netral dan memisahkan dua negara. Jadi untuk melalui garis ini tidak diperlukan paspor alias bebas. Disinilah sering digunakan lalu lalang penduduk PNG untuk berbelanja ke Jayapura, bahkan ditempat itu pulalah penduduk Papua New Guinea yang mempunyai kerabat dari Jayapura sering bertemu. Sedangkan paspor digunakan untuk memasuki pos ke-2 yang letaknya kurang lebih 1 km dari batas itu. Masuk ke area ini kita tidak boleh membawa kamera.

Banyak pemandangan indah yang dapat kita nikmati setelah memasuki pagar pembatas itu. Ada deretan kios milik penduduk Papua New Guinea yang menjual asesoris, seperti kaos, topi, mug, shal, payung, kain pantai, makanan kaleng dan sebagainya. Dan untuk berbelanja di kios itu, kita dapat menggunakan mata uang Rupiah. Namun demikian kita tidak dapat menawarnya, karena mereka tidak mengerti mata uang Rupiah.

Harga yang mereka tawarkan selalu bulat, seperti Rp. 25.000,- Rp. 50.000,- dan sebagainya. Namun demikian tak banyak perbedaan antara postur tubuh orang Papua New Guinea dan orang Papua Indonesia. Yang membedakan mereka adalah bahasanya. Bahasa sehari-hari mereka adalah bahasa Inggris logat Fiji campuran bahasa Indonesia. Sedangkan mata uang yang mereka gunakan adalah Kina. 1 kina setara dengan Rp. 3.000,-

Selain dapat membeli beberapa asesoris di kios-kios itu, kita dapat juga menikmati keindahan pulau Putung dari kejauhan. Sayangnya tak mudah mengambil gambar di tempat itu. Kadang kitapun harus mencuri kesempatan untuk mengabadikan foto pribadi, karena ada penjual jasa foto di tempat itu. Sekali jepret mereka minta imbalan Rp. 50.000,- dan tidak bisa ditawar.
Yah....inilah sekelumit perjalanan yang tak mungkin aku lupakan dalam sejarah hidupku.

I LOVE YOU PMII.....

1 komentar:

Unknown mengatakan...

NKRI HARGA MATI