Di Balik Pertempuran Surabaya 10 November 1945
Oleh:
K Ng H Agus Sunyoto
Latar
Belakang
Pertempuran
besar di Surabaya pada 10 November 1945, yang menurut William H. Frederick
(1989) sebagai pertempuran paling nekat dan paling destruktif -- yang tiga minggu di antaranya – sangat
mengerikan jauh di luar yang dibayangkan pihak Sekutu maupun Indonesia, secara kronologis kesejarahan tidak bisa dipisahkan dari Perang Rakyat dalam
bentuk Perang Kota antara Brigade ke-49 Mahratta di bawah komando Brigadir
Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby dengan arek-arek Surabaya yang
berlangsung sangat brutal selama tiga hari, mulai tanggal 26- 27 – 28 Oktober
1945 dengan kesudahan sekitar 2000 orang pasukan Brigade ke-49 tewas termasuk
Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby yang terbunuh tanggal 30 Oktober, di mana
Perang Rakyat selama tiga hari itu tidak terlepas sama sekali dari Resolusi
Jihad NU yang dimaklumkan tanggal 22 Oktober 1945 di Surabaya. Itu berarti, empat hari setelah Resolusi Jihad NU pecah Perang
Rakyat tiga hari pada 26 – 27 – 28 Oktober 1945 dan 12 hari setelah Perang
Rakyat itu atau 17 hari setelah Resolusi Jihad NU itu pecah perang besar 10
November 1945 yang dikenang oleh pihak Inggris dengan satu kalimat singkat “Once and Forever.”
Lahirnya
Resolusi Jihad NU saat itu, bukanlah peristiwa insidental yang muncul tanpa
perhitungan matang, apalagi hanya berdasar pertimbangan situasional. Para
pimpinan NU seperti KH Hasyim Asy’ari, yang sejak keluar dari Penjara Koblen
Surabaya tidak kembali ke Tebuireng tetapi tinggal di Surabaya, cukup dekat
dengan kalangan pergerakan dan memperoleh informasi cukup banyak tentang
perkembangan situasi politik, termasuk peta kekuatan kalangan nasionalis pasca
kekalahan Jepang. Bahkan secara khusus, KH Hasyim Asy’ari mengetahui seberapa
besar kekuatan para santri Nahdliyyin di tubuh TNI dan badan-badan perjuangan.
Dan yang paling menentukan, adalah pembacaan terhadap semangat rakyat yang
meluap-luap semenjak akhir bulan
September sampai pertengahan bulan Oktober yang butuh suatu kanalisasi yang
bermuara kepada perlawanan terhadap siapa pun di antara kekuatan kulit putih
yang akan kembali menjajah Indonesia.
Sebagai telah diketahui bahwa tanggal
3 Oktober 1943 Saiko
Sikikan dari Tentara Pendudukan Jepang mengeluarkan Osamu Seirei No.44 tentang
pembentukan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) atau Bo-ei Giyugun Kanbu Renseitai yang terdiri atas 65 Daidan (batalyon) di Jawa dan 3 Daidan di Bali. Tiap
Daidan beranggotakan 535 personil dipimpin Daidancho
(komandan batalyon) pangkat setingkat mayor dibantu kepala staf berpangkat Chudancho. Setiap Daidan terdiri dari 4 Chudan yang dipimpin
seorang Chudancho (komandan kompi) pangkat setingkat kapten. Tiap Chudan
terdiri dari 3 shodan yang dipimpin seorang shodancho (komandan peleton)
pangkat setingkat letnan. Tiap shodan terdiri dari 4 bundan yang dipimpin
seorang bundancho (komandan regu) pangkat setingkat sersan. Dari 65 batalyon itu, 20 orang
komandan dan kepala stafnya adalah para kyai di mana akibat
banyaknya kyai yang menjabat komandan
batalyon, surat kabar Asia Raya 22 Januari 1944 mempertanyakan sebutan yang pas
untuk mereka “Apa para kyai cukup
disebut daidancho atau ada tambahan daidancho kyai?”
Peristiwa
pembentukan Tentara Sukarela PETA ini adalah babak baru dari sejarah umat Islam
dalam bidang kemiliteran. Jika sebelumnya, dalam berbagai perlawanan bersenjata
terhadap pemerintah kolonial Belanda selalu dilakukan oleh pemuka agama yang
didukung petani, perajin, tukang, pedagang yang dipersenjatai yang di dalam
peperangan menggunakan teknik-teknik tempur tradisional, maka melalui Tentara
Sukarela PETA ini umat Islam memasuki babak baru sejarah perang modern di mana
sebagian besar umat Islam dilatih langsung oleh tentara-tentara professional
Jepang yang sejak tahun 1905 sudah berhasil menunjukkan kehebatannya dengan
menghancurkan armada Rusia dalam pertempuran di Teluk Tchusima dan pada Maret
1942 menghancurkan kekuatan Belanda yang didukung sekutu dalam pertempuran di
Laut Jawa.
Setahun
kemudian, pada 14 Oktober 1944 pemerintah pendudukan Jepang membentuk Hizbullah
di Jakarta. Hizbullah secara khusus beranggotakan pemuda-pemuda Islam se-Jawa
dan Madura. Pada latihan pertama di Cibarusa, Bogor, yang diikuti 500 orang
pemuda muslim itu tercatat sejumlah nama kiai muda dari pondok pesantren seperti KH Mustofa Kamil
(Banten), K. Mawardi (Solo), K. Zarkasi (Ponorogo), K. Mursyid (Pacitan),
K. Syahid (Kediri), K. Abdul Halim
(Majalengka), K. Thohir Dasuki (Surakarta), K. Roji’un (Jakarta), K. Munasir
Ali (Mojokerto), K. Abdullah, K. Wahib
Wahab (Jombang), K. Hasyim Latif (Surabaya), K. Zainuddin (Besuki), Sulthan
Fajar (Jember), dan lain-lain.
KH Hasyim
Asy’ari menyambut baik pembentukan paramiliter Hizbullah ini. Itu tercermin
pada sambutan tertulis beliau selaku syuumubutyo (Kepala Jawatan Agama) yang
dibacakan oleh KH Abdul Kahar Muzakkir, dalam penutupan latihan pemimpin
Hizbullah se-Jawa pada 20 Mei 1945, yang isinya sebagai berikut:
“Saya
yakin bahwa pemuda yang telah rela memasuki barisan Hizbullah dan yang sabar
mengatasi segala kesukaran dalam latihan ini, adalah pemuda-pemuda Islam
pilihan di seluruh Jawa. Maka pada saat bangsa Indonesia menghadapi suatu
kejadian yang penting sekali, yakni timbulnya bangsa yang merdeka, yang dapat
menegakkan agama Allah, sungguh besar kewajibanmu sebagai harapan bangsa.
Bangsa Indonesia kini sedang berjuang, untuk membentuk dan menyelenggarakan
negara Indonesia yang merdeka. Kamu harus menjadi tenaga yang sebaik-baiknya
untuk mencapai cita-cita itu. Buktikanlah kepada segenap dunia, bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang masih hidup dan umat Islam di Indonesia adalah
umat yang masih hidup pula.”
Sebulan setelah latihan pemimpin Hizbullah, diselenggarakan pula latihan
seluruh bintara PETA
dan Hizbullah se-Karesidenan Besuki yang dimulai pada 20 Juni 1945 dan
berakhir pada 21 Juli 1945. Susunan
organisasi pelatihan itu adalah Mayor Fukai dan Mayor Kobayashi
dari Komando Militer (Butai) sebagai
pimpinan, KH Mursyid sebagai penasehat,
Yogeki Shodancho Wahyudi sebagai instruktur (Taicho), Sulthan Fajar (komandan korp Hizbullah Karesidenan Besuki)
sebagai Asisten Instruktur (Fuku Taicho), dan 23 perwira Hizbullah lulusan Cibarusa,
Bogor, sebagai Komandan Latihan Peleton (Sidokan).
Sedangkan sebagai ketua panitia penyelenggara adalah Nuruddin, anggota DPR (Syu Sangikai) Besuki.
Berbekal
pengetahuan militer modern yang diperoleh dari pendidikan di PETA dan
Hizbullah, para kiai dan pemuda Islam di daerahnya masing-masing kemudian
membentuk satuan-satuan paramiliter. Para kyai di
pesantren-pesantren pun membentuk satuan-satuan paramiliter baru yang disebut
Sabilillah. Para santri dan warga sekitar pesantren, adalah anggota utama dari
pasukan Sabilillah ini.
Sementara
masyarakat arek
yang
tinggal di kawasan Surabaya – Gresik – Lamongan – Tuban - Bojonegoro
– Mojokerto – Jombang – Pasuruan - Malang ditambah masyarakat Tapal Kuda yang
secara kultural memiliki akar yang sama dengan NU, adalah komunitas yang selama
pendudukan Jepang mendapat latihan-latihan militer lewat Tonari Gumi dengan kinrohoshi,
Chokai dengan keibodan, dan seinendan. Keibodan yang dipersenjatai
takiyari (bambu runcing) di seluruh Jawa dengan
jumlah ditaksir lebih
dari satu juta
orang. Sementara pemuda
pelajar yang dilatih dalam Seinendan diperkirakan jumlahnya sekitar lima juta
orang.
Situasi
Surabaya Menjelang Resolusi Jihad
Sejak
kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dan Republik Indonesia
dibentuk pada 18 Agustus 1945, para elit pemimpin di berbagai daerah sibuk
membentuk pemerintahan dengan pijakan kepentingan individu yang kuat dengan
menjalin kekuasaan kelembagaan yang dibutuhkan, sampai pembentukan tentara
nasional pun terabaikan. Keadaan inilah yang menjadi salah satu penyulut
tindakan kekerasan di tengah masyarakat yang ditandai bermunculannya
kelasykaran-kelasykaran sepanjang awal bulan September 1945. Bahkan kalangan
pelajar pun, lepas dari kendali untuk bisa diatur, sebagaimana terlihat pada
kasus 3 September 1945 di mana para pemuda
dengan kasar menolak untuk diatur-atur oleh elit agar mengikuti prosedur yang
ditetapkan pemerintah. Dan itu dibuktikan dengan pawai raksasa di Tambaksari
tanggal 11 September 1945. Dan 19 September 1945 pecah insiden bendera di Hotel
Oranye.
Tanggal 21 September 1945 Doel Arnowo adakan rapat
terbuka di GNI Surabaya dihadiri anggota KNID. Dr Moestopo yang sudah
memanggil mantan anggota PETA ke
Surabaya bersumpah bahwa ia dan pasukannya akan mengambil alih markas sekutu.
Ini adalah reaksi terhadap pembentukan markas RAPWI di Hotel Oranye yang
dipimpin seorang perwira Belanda bernama P.G. de Back pada tanggal 21 September 1945 itu. Bahkan tanggal 23 September 1945, sebuah
tim di bawah Kepala kantor Belanda Untuk Urusan Orang-orang Terlantar,
D.L.Asjes, masuk ke kota surabaya di bawah perlindungan pasukan kehormatan
Jepang. Hari itu datang juga perwira Belanda
P.J.G.Huijer yang berbicara
langsung dengan Panglima AD dan panglima AL Jepang sebagai wakil Belanda dan
Inggris.
Tanggal 27 September 1945 mulai terjadi konfrontasi
antara warga kampung dengan tentara Jepang. Perkelahian yang berlangsung di
gerbang-gerbang masuk kampung itu selalu berakhir dengan tentara Jepang lari
atau tewas terbunuh dan senjatanya diambil warga kampung. Menurut kesaksian warga yang terlibat
perkelahian dengan tentara Jepang, salah satu pemicu keberanian warga menyerang
tentara Jepang karena semua sudah diberitahu para sesepuh bahwa waktu habisnya
kekuasaan Jepang sudah datang (titi wanci) sesuai Ramalan Jayabaya. Selain itu,
takiyari (bambu runcing) milik mereka sudah diberi ‘asma oleh para kyai.
Tanggal
29 September 1945 di dekat Pasar Blauran terjadi insiden di mana kendaraan
militer yang membawa seorang perwira
Jepang menabrak dokar. Kusir dan penumpang dokar luka-luka. Dalam sekejap
perwira Jepang dan sopirnya itu dikeroyok massa. Untung diselamatkan PRI
sehingga tidak terbunuh. Tapi malam hari, patroli Jepang dicegat dan diserang
massa. Tentara Jepang lari meninggalkan truk dan senjata yang dirampas massa.
Menurut kesaksian, yang mengordinasi penduduk untuk menyerang tentara Jepang adalah Pemuda Ansor yang
tergabung dalam barisan Hizbullah pimpinan Cak Achyat.
Tanggal
30 September 1945 massa dari berbagai kampung sekitar Blauran bergerak menuju
ke Don Bosco, kawasan Sekolah Katholik yang menjadi barak-barak Tentara Jepang.
Sambil berteriak-teriak, massa mengepung tentara Jepang yang dicekam
ketegangan. Untung cepat datang Kepala Polisi Khusus M. Jasien, wakil-wakil
KNID, BKR dan PRI yang menenangkan massa dengan menjadi juru runding dengan
pihak Jepang. Massa tetap meminta agar Jepang menyerahkan semua senjata,
pakaian, makanan, dan bahan-bahan lain kepada mereka. Akhirnya, Jepang menyerah
dan memenuhi keinginan massa.
Keberhasilan
Don Bosco dijadikan “rumus” oleh massa untuk melucuti Jepang. Demikianlah, pool
kendaraan AD Jepang, fasilitas pemancar utama kota, rumah sakit, dan
fasilitas-fasilitas lainnya dialihkan kepada wakil-wakil dari pemerintahan
wilayah. Sepanjang tanggal 30 September 1945 selain terjadi pengepungan terhadap kekuatan Jepang yang berakhir dengan
menyerahnya pihak Jepang, juga beredar desas-desus yang diikuti poster-poster
tentang bakal diserangnya Jepang pada 1 Oktober 1945.
Tanggal
1 Oktober 1945 wilayah Surabaya pusat dibanjiri penduduk yang membawa bendera,
poster, pedang, takiyari, dan senjata api. Didukung massa yang beringas ini
wakil-wakil KNID, BKR, Polisi Khusus menekan pihak Jepang untuk menyerah. Pihak
Jepang yang enggan menyerah diserang.
Salah satu pihak yang menolak untuk menyerah adalah markas Kenpetai.
Dalam aksi pertempuran antara massa rakyat dengan Kenpetai selama 36 jam, pada
2 Oktober 1945 kantor yang dikenal paling horor itu menyerah. 24 orang pemuda
gugur. 40 orang Kenpetai tewas dan luka-luka serta ratusan tentara Jepang
digiring ke kamp tawanan Koblen.
Ke-24
orang pahlawan itu dimakamkan di bekas Lapangan Canaalan pada tanggal 3 Oktober
1945 dengan penghormatan militer dari polisi khusus. Penduduk datang
berduyun-duyun sambil mengibarkan bendera merah putih. Para kyai hadir
membacakan doa bagi para pahlawan. Upacara pemakaman ditutup dengan
teriakan-teriakan “Hidup Indonesia!” dan “Indonesia Merdeka!”. Lalu tersebar
kabar bahwa Kenpetai dikeluarkan dari penjara Koblen. Massa beramai-ramai ke
penjara Koblen dan mendapati kerumunan massa lain sudah mengepung penjara
tersebut. Saat itulah terjadi pelampiasan amarah massa yang membantai
sebagian dari tawanan-tawanan Jepang tersebut. Anggota
PRI dengan susah payah memasukkan
kembali tawanan-tawanan itu ke penjara.
Memasuki
pekan awal Oktober 1945, tentara Jepang di
Semarang dan Bandung yang sudah dilucuti rakyat merebut kembali kota Semarang
dan Bandung yang telah jatuh ke tangan Indonesia dan kemudian menyerahkan
kepada Inggris. Pemerintah Republik Indonesia yang telah terbentuk pada tanggal
18 Agustus 1945 menahan diri untuk tidak melakukan perlawanan dan mengharapkan
penyelesaian kasus itu secara diplomatik. Pemerintah tampaknya menerima saja
ketika melihat bendera Belanda dikibarkan di Jakarta. Tindakan Jepang yang
menguntungkan Inggris itu membuat marah
para pemimpin Indonesia, termasuk para ulama NU.
Tanggal 6 Oktober 1945 massa dari kampung-kampung Surabaya dalam
jumlah tak terhitung berkerumun di luar markas PRI di Simpang Club. Mereka
marah karena PRI memasukkan kembali orang-orang Jepang ke penjara. Mereka
menuntut agar tawanan Jepang dilepaskan. Tiga orang pimpinan PRI tanpa daya
digiring ke penjara Koblen. Ternyata, penjara Koblen sudah penuh dengan
kerumunan massa yang sedang marah-marah dengan aparat oemerintah yang
kebanyakan anggota KNID seperti Sudirman, Bambang Suparto, Doel Arnowo, Angka
Nitisastro, Bambang Kaslan, Dr Soewandhi, Sumarsono, Hardjadinata, dan
lain-lain.
Ketika pimpinan PRI dan KNID sedang membahas langkah
terbaik mengatasi kemarahan massa, sekumpulan orang menerobos penjagaan PRI
yang mengamankan penjara. Di bawah todongan pedang, beberapa orang Jepang yang
dikenal sebagai anggota Kenpetai diseret ke tengah kerumunan massa dan
dieksekusi di bawah kemarahan. Bahkan
akibat kemarahan tak terkendali, orang-orang bergantian meminum darah Kenpetai Jepang yang mereka sembelih itu. Setelah itu,
kawanan pembunuh dengan membawa pedang berlumur darah menghadap para pemimpin
dan meminta mereka untuk menjilat darah di pedang tersebut.
Tanggal 10 – 11 Oktober 1945 ketika PRI menggeledah
kantor RAPWI dan perumahan Eropa tersiar kabar bahwa ditemukan banyak bukti
tentang rencana serangan, perangkat radio, peta sistem komunikasi, instruksi
dari pemerintah NICA di Australia, dan sejumlah besar mata uang Jepang. Padahal
informasi menunjuk bahwa Sekutu akan mendarat di Surabaya tanggal 14 Oktober
1945. Suasana di Surabaya pun memanas. Lalu
dengan alasan untuk menghindari aksi massa, tanggal 15 Oktober 1945
sekitar 3500 orang Belanda dan Indo Belanda yang sudah dilepas dari interniran
Jepang, diam-diam
oleh PRI dinaikkan truk-truk dan dibawa ke
penjara Kalisosok (werfstraat)
untuk ditahan serta ditempatkan di sejumlahntempat yang aman.
Sebagian truk yang membawa para tawanan itu dihadang massa di depan Simpang
Club dan para tawanan dihakimi massa secara brutal.
Tanggal
15 Oktober 1945, Soetomo memproklamasikan terbentuknya BPRI (Barisan
Pemberontakan Rakyat Indonesia) dengan tujuan memangkas pengaruh PRI yang dicurigai bermain-mata
dengan pihak Belanda. Tanggal 16 Oktober 1945, Radio Pemberontakan yang menyiarkan
propaganda mulai mengudara. Radio Pemberontakan selain menyiarkan berita, juga
menyiarkan aneka macam dorongan keberanian dan bahkan hasutan untuk melawan
Belanda. Teriakan “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!” sebelum dan setelah
siaran, dengan cepat menarik umat Islam Surabaya. Banyak pengamat mencatat
bahwa Soetomo, yang terkenal dengan nama Bung Tomo memiliki hubungan khusus
dengan tokoh-tokoh Islam. Ia bahkan diketahui mendapat kepercayaan dan dukungan dari KH Wachid
Hasyim.
Resolusi
Jihad dan Pengaruhnya
Kabar
bakal mendaratnya Sekutu yang diboncengi tentara NICA makin keras
terdengar di tengah penduduk Surabaya
yang dicekam kemarahan menunggu kedatangan tentara Belanda yang membonceng
pasukan Inggris itu. Atas dasar berbagai pertimbangan – salah satunya momentum
semangat melawan masyarakat terlatih yang tak tersalurkan – membuat PBNU
mengundang konsul-konsul NU di seluruh jawa dan madura agar hadir pada tanggal
21 Oktober 1945 di kantor PB ANO di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya. Malam hari tanggal 22 Oktober 1945, Rais
Akbar KH Hasyim Asy’ari, menyampaikan amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang
kewajiban umat Islam, pria maupun wanita, dalam jihad mempertahankan tanah air
dan bangsanya. Rapat PBNU yang dipimpin Ketua Besar KH Abdul Wahab Hasbullah
itu kemudian menyimpulkan satu keputusan dalam bentuk resolusi yang diberi nama
“Resolusi Jihad Fii Sabilillah”, yang isinya sebagai berikut:
“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe
‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki,
perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak
lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang
jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe
kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…”
Dalam tempo singkat, Surabaya guncang oleh kabar seruan jihad dari PBNU.
Dari masjid ke masjid dan dari musholla
ke musholla tersiar seruan jihad yang dengan sukacita disambut
penduduk Surabaya. Atas dasar pertimbangan politik, Resolusi Jihad tidak
disiarkan di radio. Namun dari pidato Bung Tomo tanggal 24 Oktober 1945 yang
berbeda dari biasanya, terlihat jelas pesan yang disampaikan agar tidak
arek-arek Surabaya jangan gampang berkompromi dengan Sekutu yang akan mendarat
di Surabaya. Isi pidato Bung Tomo tersebut, adalah sebagai berikut:
“Kita ekstrimis dan rakyat sekarang tidak
percaya lagi pada ucapan-ucapan manis. Kita tidak percaya setiap gerakan (yang
mereka lakukan) selama kemerdekaan Republik tetap tidak diakui! Kita akan
menembak, kita akan mengalirkan darah siapa pun yang merintangi jalan kita!
Kalau kita tidak diberi Kemerdekaan sepenuhnya, kita akan menghancurkan
gedung-gedung dan pabrik-pabrik imperialis dengan granat tangan dan dinamit
yang kita miliki, dan kita akan memberikan tanda revolusi, merobek usus setiap
makhluk hidup yang berusaha menjajah kita kembali!”
“Ribuan rakyat yang kelaparan,
telanjang, dan dihina oleh kolonialis, akan menjalankan revolusi ini. Kita kaum
ekstrimis, kita yang memberontak dengan penuh semangat revolusi, bersama dengan
rakyat Indonesia, yang pernah ditindas oleh penjajahan, lebih senang melihat
Indonesia banjir darah dan tenggelam ke dasar samudera daripada dijajah sekali
lagi! Tuhan akan melindungi kita! Merdeka! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu
Akbar!”
Dengan
mencermati detik-detik setelah dimaklumkannya Resolusi Jihad Fii Sabilillah
oleh PBNU, terlihat sekali bagaimana rakyat Surabaya beserta
pemimpin-pemimpinnya mengatur persiapan tersendiri dalam menyambut rencana
pendaratan pasukan Sekutu di Surabaya, yang sebagian besar di luar perkiraan
pemerintah RI di Jakarta. Bahkan pada sore hari, tanggal 24 Oktober 1945, sewaktu diadakan perundingan di Modderlust
antara utusan Sekutu yang diwakili
Colonel Carwood dan pihak TKRL diwakili Oemar Said, J.Soelamet, Hermawan, dan
Nizam Zachman terjadi jalan buntu. Semua permintaan Sekutu ditolak. Malam hari
jam 20.00 terdengar pidato Drg Moestopo, yang mengaku sebagai Menhan RI yang tegas-tegas
menolak Sekutu untuk mendarat dan
menyebut Sekutu sebagai NICA. Dan pidato Drg Moestopo itu dibalas oleh pemancar
radio dari kapal yang isinya,”We don’t
take any order from anybody, we don’t have the command of a dental surgeon!”
Tindakan
Drg Moestopo yang tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat di Jakarta itu
tidak bisa dicegah, termasuk setelah pemerintah mengirimkan Mr Soedarpo, Mr.
Kasman Singodimedjo dan Mr. Sartono agar bersedia membiarkan Sekutu menjalankan tugasnya. Akhirnya Drg
Moestopo ditelpon langsung oleh Presiden Soekarno agar tidak menembak Sekutu.
Tanggal
25 Oktober 1945 HMS Wavenley bersandar di dermaga Modderlust dan mengirim
Captain Mac Donald dan Pembantu Letnan Gordon Smith untuk menemui Gubernur.
Dengan siasat mengundang jamuan minum teh sambil berunding, Sekutu memanfaatkan
kunjungan Drg Moestopo untuk melihat tawanan di Kalisosok dengan mendaratkan
pasukan secara besar-besaran. Tindakan ini mengudang reaksi keras penduduk.
Lalu diadakan perundingan antara Drg Moestopo dengan Kolonel Pugh. Hasilnya,
pasukan Sekutu berhenti pada garis batas
800 meter dari pantai ke arah kota.
Tanggal
26 Oktober 1945 diadakan perundingan antara pihak RI yang diwakili oleh wakil
gubernur Soedirman, Ketua KNI Doel Arnowo, Walikota Radjamin Nasution, dan
wakil Drg Moestopo, Jenderal Mayor Muhammad
dengan pihak Sekutu yang diwakili A.W.S. Mallaby beserta staf. Dalam
perundingan, pasukan sekutu diperbolehkan menggunakan beberapa bangunan di
dalam kota. Markas Brigade ke-49 Mahratta ditempatkan di Kayoon. Dengan
persetujuan itu, Sekutu membangun pos-pos pertahanan yang menebar dari kawasan
pantai hingga ke bagian tengah dan selatan kota.
Tanggal
27 Oktober 1945 Sekutu mendaratkan lebih
banyak pasukan untuk memperkuat pos-pos pertahanannya. Kira-kira jam 11.00 di
atas langit Surabaya melesat pesawat Dakota yang menebarkan selebaran yang
berisi perintah kepada penduduk Surabaya untuk menyerahkan segala persenjataan
dan peralatan Jepang kepada Sekutu. Perintah itu disertai ancaman, bahwa apabila
masih ada orang membawa senjata akan langsung ditembak di tempat. Tindakan
Sekutu itu dijawab penduduk dengan memasang barikade-barikade di seluruh jalan
kota. Lalu pertempuran pun pecah di depan Rumah Sakit Darmo yang merembet ke
daerah Kayoon, Simpang, Ketabang, Jembatan Merah, dan Benteng di Ujung. Aliran
listrik, telepon dan air minum diputus.
Jalur logistik terhenti. Kota pada malam hari gelap gulita. Dropping logistik
dari udara justru jatuh ke tangan rakyat.
Tanggal
28 Oktober 1945 yang merupakan hari peringatan Sumpah Pemuda ditandai dengan
pertempuran sengit para pemuda melawan Sekutu. Menurut kesaksian para pelaku
sejarah, salah satunya Brigjen Barlan Setiadijaya, pertempuran tanggal 28
Oktober 1945 itu sangat membingungkan sekutu. Sebab lawan mereka bukan tentara
yang bertempur menggunakan pola operasi militer, melainkan gerakan rakyat yang
fanatik dengan senjata apa saja menyerang pasukan sekutu dari kampung-kampung sekitar pos-pos pertahanan
sekutu. Bahkan menurut arek-arek Surabaya seperti Luthfi Rachman, Perang Tiga
Hari pada tanggal 27 – 28 -29 Oktober 1945 itu bukanlah perang, melainkan
semacam tawuran massal karena rakyat Surabaya bertempur tidak ada yang
mengkomando. Sepanjang hari, penduduk keluar dari kampung-kampung sambil meneriakkan
takbir, menyerang pasukan Sekutu dari berbagai arah seperti semut mengerumuni
bangkai. Tentara Sekutu yang lari menyelamatkan diri diburu dan begitu
tertangkap beramai-ramai dibantai meski tentara-tentara asal India meminta
ampun dan mengaku muslim, tetap saja dibunuh.
Pertempuran
baru berhenti setelah tanggal 30 Oktober 1945 Bung Karno dan Bung Hatta datang
ke Surabaya untuk meredam pertempuran. Gencatan senjata dilakukan. Namun dalam
rangka sosialisasi gencatan senjata, tiba-tiba Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby
tewas dilempar granat dalam sebuah insiden di Hotel Internatio. Demikianlah,
semangat Resolusi Jihad yang harusnya meredah dengan kedatangan Bung Karno dan
Bung Hatta, ternyata makin menyala-nyala dan meledak menjadi bara api Perang Surabaya 10
November 1945 yang berlangsung selama 100 hari.
Kepustakaan
Abdulgani, Ruslan, Heroes’
Day and the Indonesian revolution, Jakarta: Prapantja, 1964.
_____________, 100
Hari di Surabaya, Jakarta: Yayasan Idayu, 1975.
Anderson, Benedict R.O’G, Java in Time of Revolution , Occupation and Resistance, 1944-
1946, Ithaca & London: Cornell University Press, 1972.
Asmadi, Pelajar
Pejuang, Jakarta: Sinar Harapan, 1985
Frederick, William H., Pandangan dan Gejolak Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi
Indonesia
(Surabaya 1926-1946), (Terjemahan.
Hermawan Sulistyo), Jakarta:
Gramedia,
1989.
Hadi Soewito, Irna H.N., Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan, 3 jilid,
Jakarta: Grasindo, 1994.
Kahin, Audrey R., Regional
dynamics of Indonesian revolution, Honolulu: University of
Hawaii Press, 1985.
Notosusanto, Nugroho, Tentara Peta, Jakarta: Gramedia, 1979.
Setiadijaya, Barlan,
10 November ’45 Gelora
Kepahlawanan Indonesia, Jakarta: Yayasan
Dwiwarna, 1988.
Sutomo, 10
Nopember, Jakarta: UP. Balapan, 1951
Tidak ada komentar:
Posting Komentar